PUTUSAN MA NO. 64 P/HUM/2019 SEBAGAI SOLUSI AKHIRI POLEMIK SEGMENTASI PASAR BIDANG JASA KONTRUKSI

Hilman Dani Aufar March 15, 2020
Permohonan yudicial review sebagai bentuk eksaminasi dan  partisipasi publik atas keputusan (beschikking), peraturan (regeling)  dan Keputusan Hakim (Vonis)



Peraturan Menteri PUPR 07/PRT/M/2019 yang  selanjutnya disingkat Permen PUPR (7/19) tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi Melalui Penyedia. Permenpupr 7/2019  dalam menyusun kebijakan yang sangat kental rasa peningkatan terhadap UMKN dan agar ada suatu pemerataan usaha jasa kontruksi di sektor kualifikasi badan usaha skala kecil (K).

Bahwa tim Kementerian PUPR pada awalnya menyusun Permen PUPR 7/2019 dengan dua rasa yaitu rasa APBN dan rasa APBD dengan tujuan memberikan panduan lengkap tidak hanya bagi K/L tapi juga bagi Pemerintah Daerah (PD). Namun konsep awal ini dikoreksi pada proses legislasi karena ada pasal 86 ayat (1) dan (2) Peraturan Presiden Nomor 18 tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perpres 16/2018) yang sudah membagi kewenangan K/L dan PD dalam menyusun peraturan tindak lanjut.

Jadilah formulasi Permen PUPR 7/2019 seperti yang ada saat ini. Hanya dititipkan satu klausula pada Pasal 3 ayat (4) bahwa Peraturan Menteri ini menjadi acuan bagi pemerintah daerah dalam menyusun dokumen pengadaan Jasa Konstruksi melalui Penyedia. Dengan harapan pemerintah daerah cukup menyusun dokumen pengadaan barang/jasa, bukan peraturan kepala daerah, mengacu pada Permen PUPR 7/2019 tanpa merubah substansi tetapi banyak dirasakan oleh pelaku usaha jasa kontruksi hal ini ada aturan yang tumpang tindih antara satu dengan yang lainnya.

Maka Kondisi tak pelak menimbulkan diskusi yang hangat di kalangan pelaku pengadaan jasa konstruksi di daerah. Bahkan kabarnya beberapa daerah sampai menerbitkan surat edaran yang isinya menyatakan Permen PUPR 7/2019 bertentangan dengan kebijakan Presiden pada Perpres 16/2018. (Lex superior derogat legi inferior) adalah asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang tinggi (lex superior) mengesampingkan hukum yang rendah (lex inferior).  (Asas hierarki)

Salah satu pasal krusial yang menimbulkan perdebatan adalah dibuatnya norma baru (New Norm) pada Permen PUPR 7/2019 pasal 21 ayat (3) huruf a bahwa Pemaketan Pekerjaan Konstruksi untuk nilai HPS sampai dengan Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) disyaratkan hanya untuk Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi dengan kualifikasi usaha kecil yang mana maksud pembuat aturan tersebut yang  bermaksud menyadangkan Paket sampai dengan 10 Miliar untuk pelaku usaha skala kecil (UMKN). 
Bahwa kebijakan pemaketan pekerjaan konstruksi untuk nilai HPS ( harga perkiraan sendiri) sampai dengan Rp10 miliar hanya untuk kontraktor skala kecil memang patut dicermati karena banyak menimbulkan polemik agar tidak memunculkan implikasi lain, yang berujung sanksi/pidana, sebagaimana diatur dalam pasal 40 UU 20/2008

Bahwa norma hukum paket pekerjaan untuk penyedia kualifikasi usaha kecil dicadangkan paling banyak  Rp 2,5 miliar. Hal ini sesuai dengan Perpres 16/2018 dalam pasal 65 ayat(4), yang menyebutkan paket nilai HPS paling banyak Rp 2,5 miliar dicadangkan dan diperuntukkan bagi usaha kecil. Kecuali paket pekerjaan menuntut kompetensi teknis yang tidak dapat dipenuhi oleh usaha kecil, jadi bukan paling banyak Rp10 Miliar. 

Maka setelah Putusan MA mengabulkan Permohonan Uji Materi (Judicial Review) Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Aspal dan Beton Indonesia  (DPP AABI) dengan No Register64 P/HUM /2019,  maka  sesuai ketentuan Pasal 31 A ayat (8) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 dan Pasal 8 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 01 Tahun 2011, maka Norma Hukum  tentang  Segmentasi Pasar    dalam  rentang  waktu 90 hari  kedepan dari mulai diterimanya salinan putusan oleh  Kementrian PUPR berubah kepada norma hukum semula sampai ada peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan  Kementrian PUPR dan mengikat,  Kementrian PUPR melalui surat resmi Nota Dinas Sekretaris Direktorat Jendral Bina Konstruksi Kementrian PUPR tanggal 20 Februari 2020 menyatakan, Segmentasi pasar sesuai Permen PU No.07/PRT/M/2019 pasal 21 ayat (3) huruf a,b,c yang sudah dicabut oleh MA masih dapat digunakan sampai dengan 90 hari kalender sejak dikirimnya putusan MA tersebut kepada para pihak.

Merujuk Putusan MA No 64 P/HUM/2019 menyatakan Pasal 21 ayat (3) huruf a, b dan c Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 07/PRT/M/2019 Tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi Melalui Penyedia bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu Undang-Undang No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah serta bertentangan juga dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukkan Peraturan Perundang-undangan dan karenanya tidak sah serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat

Sebetulnya sebelum terbitnya Putusan MA No 64 P/HUM/2019 Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP-RI) pun sudah menjelaskan panjang lebar, bahwa norma paket pekerjaan dengan nilai HPS paling banyak Rp2,5 miliar,sudah disebutkan didalam  Perlem LKPP Nomor 7 Tahun 2018 pasal 24 ayat (3) mengatur pemaketan sebanyak-banyaknya untuk usaha kecil termasuk pekerjaan konstruksi sampai dengan Rp2,5 miliar. Hal sama juga dipaparkan Perpres 16 Tahun 2018 pasal 65 ayat (4) hanya mengatur paling banyak Rp2,5 miliar, bukan paling sedikit Rp2,5 miliar sampai dengan paling banyak Rp10 miliar.

Maka  menurut  pendapat penulis dengan sudah ada Putusan  MA No 64 P/HUM/2019 tersebut agar legalitasnya Permen PUPR No 7/2019, khususnya Pasal 20 ayat (3) huruf a,b dan c agar tidak memunculkan polemik hukum, sangat perlu diuji materialkan ke Mahkamah Agung agar mendapatkan  kepastian hukum, yang jadi pekerjaan rumah kementrianPUPR dan Pelaku Usaha Jasa Kontruksi bahwa  Uji  Materi tersebut masih dalm proses Peninjauan Kembali  (PK)  karena  permohonan PK adalah suatu permohonan kepada Putusan Pengadilan Yang Berkekuatan Hukum Tetap (inkracht van gewijsde)  sesuai tugas dan wewenang MA sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 24A ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”):
“MA berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.”

Jadi, judicial review adalah mencakup pengujian terhadap suatu norma hukum yang terdiri dari pengujian secara materiil (uji materiil) maupun secara formil (uji formil). Dan hak uji materiil adalah hak untuk mengajukan uji materiil terhadap norma hukum yang berlaku yang dianggap melanggar hak-hak konstitusional warga negara. Maka peraturan perundang-undangan yang diuji materi (Judicial Review) di bawah undang-undang terhadap undang-undang setelah diputus oleh Mahkamah Agung RI (MA )  mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dan mengikat (Bindende Kracht ) setelah 90 hari kedepan sesuai hukum acara uji materi di Mahkamah Agung (MA) .

Kami selaku penulis berpendapat bahwa setelah Putusan MA No 64 P/HUM/2019 berlaku efektif dan mempunyai kekuatan hukum tetap maka Mahkamah Agung perlu segera menindaklanjuti Putusan tersebut dengan melakukan evaluasi menyeluruh terkait hukum acara persidangan, sumber daya manusia dan sarana prasarana penunjang. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa pengujian peraturan perundang-undangan di Mahkamah Agung belum sepenuhnya mengadopsi prinsip-prinsip peradilan yang transparan, akuntabel, dan aksesebel. Oleh sebab itu, ada beberapa praktik beracara pengujian peraturan perundang-undangan di Mahkamah Agung yang masih membutuhkan perbaikan sebab Pengujian oleh MA tidak Melalui Persidangan secara Terbuka dan Proses pengujian oleh Mahkamah Agung berbeda dengan praktik pengujian di Mahkamah Konstitusi, ataupun persidangan perkara Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tata Usaha Negara. Proses pengujian oleh MA dilaksanakan secara tidak terbuka, sehingga Pemohon tidak mengetahui secara pasti tahapan dan proses pengujian yang sedang dilakukan oleh Mahkamah Agung. Tidak adanya gelar persidangan maka para pihak juga tidak dapat memberikan argumentasi untuk memperkuat permohonan, ataupun membantah permohonan, atau menghadirkan ahli atau saksi untuk diperdengarkan keterangannya. Dengan tidak digelarnya persidangan secara terbuka, maka pemohon tidak dapat memberikan argumentasi secara maksimal dan meyakinkan hakim tentang pentingnya permohonan pengujian tersebut.

Salah satu aspek penting yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah Agung sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman adalah prinsip keterbukaan pengadilan (open court principle) sebagai salah satu prinsip utama dalam hukum acara. Menurut Beverly McLachin, ada dua nilai inti dari prinsip keterbukaan pengadilan.
Pertama, pengadilan yang terbuka menjamin pemenuhan kebebasan individu dalam hal berpendapat dan untuk mengekpresikan pikiran dan sikapnya.
Kedua, keterbukaan mendukung akuntabilitas pengadilan. Adanya jaminan atas hak publik untuk mengakses persidangan dan putusan pengadilan, maka publik dapat mengawasi proses pengambilan putusan sehingga mencegah hakim dari penyalahgunaan wewenang.
Sebagai wujud akuntabilitas dan penerapan prinsip keterbukaan pengadilan, maka Mahkamah Agung perlu membangun sistem dan mekanisme baru yang memungkinkan diselenggarakannya persidangan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang secara terbuka dan mudah diakses oleh publik.
Dan yang yang selanjutnya hukum acara tidak memberikan batasan waktu penyelesaian uji Materi  karena Mahkamah Agung berkewajiban memproses permohonan pengujian peraturan perundang-undangan paling lama 14 hari kerja sejak permohonan diterima. Akan tetapi hukum acaranya tidak membatasi waktu penyelesaian permohonan sampai dikeluarkannya putusan. Penentuan batas waktu menjadi penting karena putusan pada suatu aturan yang dianggap bertentangan dengan peraturan di atasnya membutuhkan kepastian.
Dan yang lebih pokok dan mendasar adalah Putusan Mahkamah Agung yang membatalkan suatu ketentuan tidak langsung berlaku sejak putusan itu dibacakan, yang mana tercermin dari ketentuan dalam Perma yang mengatur hukum acara pengujian peraturan perundang-undangan. Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat, bahwa permohonan pengujian peraturan perundang-undangan beralasan oleh karena peraturan tersebut dinilai bertentangan dengan undang-undang atau peraturan di atasnya, maka Mahkamah mengabulkan permohonan tersebut. Dalam putusannya, Mahkamah Agung menyatakan peraturan perundang-undangan yang dimohonkan keberatan tersebut sebagai tidak sah atau tidak berlaku untuk umum serta memerintahkan kepada instansi yang bersangkutan segera mencabutnya dan dalam waktu 90 hari setelah salinan Putusan dikirim kepada Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan peraturan perundang-undangan. Namun, dalam praktik terkadang Pejabat yang bersangkutan tidak melaksanakan kewajibannya, demi hukum peraturan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak mempunyai kekuatan hukum.
Skema pelaksanaan putusan hasil pengujian peraturan perundang-undangan oleh Mahkamah Agung tidak menunjukkan asas kepastian, karena membutuhkan tindakan dari Pejabat lain. Putusan pengadilan seharusnya berlaku sejak diputuskan, dan mengikat para pihak sejak saat itu juga. Adanya jeda berlakunya Putusan Mahkamah Agung berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang oleh Pejabat yang terkait, dan mengurangi tingkat kepercayaan masyarakat kepada institusi peradilan.
Merujuk dari paparan penulis tersebut diatas dapat diambil kesimpulan yaitu:
Norma  Hukum  usaha kecil s/d 10 Milyar sesuai  Permenpupr 7/2019  bertentengan dengan Perpres 16/2018  dan tidak sesuai peningkatan peran serta usaha kecil sebagaimana tujuan pengadaan barang/jasa pemerintah.
Norma usaha kecil s/d 10 Milyar Permenpupr 7/2019  tidak konsisten dan searah dengan kriteria kualifikasi dan subklasifikasi pelaku usaha sesuai Permenpu 8/2011.
Norma usaha kecil s/d 10 Milyar Permenpupr 7/2019 tidak konsisten dan searah dengan kriteria UMKM pada UU 20/2008 dan pelaku usaha bisa terjebak  ketentuan pasal 40 UU 20/2008 tentang sanksi pidana terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan omset usaha.
Kriteria s/d  diatas 2,5 Milyar  suatu variable Badan Usaha kualifikasi Kecil   (K) yang berencana bermetamorfore sebagai pelaku usaha menengah (M) yang  sudah memiliki  pengalaman dari  sisi risiko, teknologi dan/atau tingkat kesulitan dan biaya  tinggi ,  dan sudah mengerjakan paket pekerjaan diatas 2,5 milyar sesuai Permenpupr 7/2019  sebelum Putusan MA No 64 P/HUM/2019 (  Vide Merujuk Putusan MA No 64 P/HUM/2019  masih ada kekosongan hukum ( Facum Law) perlu ada  sinkronisasi aturan Pasca Putusan MA No 64 P/HUM/2019 )
Bahwa seteleh  Putusan MA No 64 P/HUM/2019 ini  mempunyai hukum tetap “ in kracht van gewijsde ”  setelah dibacakan, sifat mengikat bermakna putusan MA tidak hanya berlaku bagi para pihak –pihak yang terkait dengan Peraturan Menteri PUPR tetapi bagi seluruh masyarakat Indonesia
Sebuah Opini yang ditulis oleh : Sriyanto Ahmad adalah  Konsultan Hukum dan Mediator Ad Hoc; Ketua lembaga Perlidungan Konsumen Trankonmasi  (The  Trankonmasi  Consumer Financial Protection Agency) Direktur  Focus learning , 5 T  principle “   dan Direktur  PT Transparan Konsumen Reformasi .

Share this