foto: malangposonline.com
Peran guru sebagai pengembang dari
dasar-dasar karakter kebangsaan, masih memiliki berbagai masalah. Bahkan sampai
hari ini, masalah kompetensi guru profesional masih jauh dari harapan, masalah
kekurangan guru, terutama guru PNS/ASN masih sangat kurang, masalah
kesejahteraan guru masih pula terabaikan.
Apapun
kebijakan pendidikan yang digagas oleh Mendikbud Nadiem Makarim, akhirnya tetap
akan terpulang pada guru. Tugas Presiden yang diberikan kepada Mendikbud Nadiem
Makarim adalah menyelesaikan masalah pembelajaran dan guru. Yang pada
hakekatnya hal itu adalah menyelesaikan masalah guru, yaitu membuat guru
kapabel dalam melakukan pembelajaran dan juga guru sejahtera.
Guru
sejahtera berarti mempunyai status yang jelas dan pasti, mendapat penghasilan
yang layak, dan terlindungi. Hal itu dapat kita lihat dari permasalahan
pendidikan yang paling menonjol hingga 2019 adalah kekurangan guru dan
kesejahteraan guru yang belum pernah teratasi. Terutama tentang penyelesaian guru
swasta dan guru-guru honorer.
Kesejahteraan guru berpengaruh
Menuntut
guru untuk menjadi pembelajar merdeka tidak boleh lepas dari memikirkan
kesejahteraan guru. Sehingga pemerintah melalui Mendikbud sangat perlu mendesain
sistem pendidikan nasional yang lebih baik untuk mengatasi problem pendidikan.
Terutama problem sumber daya guru yang profesional.
Problem
sumber daya guru yang profesional itu tentu tidak hanya merdeka berpikir, namun
mendapat kesejahteraan yang layak secara ekonomi. Sehingga mampu memenuhi
kelayakan hidup sebagai sorang guru yang akan membangun karakter bangsa.
Sehingga jelas bahwa kesejahteraan guru memberi pengaruh dalam mencapai sumber
daya guru yang profesional.
Apakah
selama ini guru belum profesional? Apakah saat ini guru belum sejahtera dengan
mendapatkan tunjangan profesi? Jawaban dari kedua pertanyaan itu boleh dijawab
dengan satu jawaban sama, belum sepenuhnya.
Belum
sepenuhnya profesional pasalnya, masih banyak guru yang dalam mengajar secara monoton,
belum semua inovatif. Program ‘satu guru satu laptop’ atau ‘satu guru satu
buku’ belumlah merata. Apa hubungannya? Jelas, ketika seorang guru tidak akrab
dengan laptop bisa jadi karena belum mampu mengoperasikan, enggan repot dengan
IT, kurang suka membaca atau bahkan tidak suka menulis.
Guru
yang demikian tentu mereka enggan berkreasi atau berinovasi dalam pembelajaran.
Karena pembelajaran inovatif sangat terkait dengan teknologi informasi,
membaca, dan menulis. Bagaimana mau menuangkan ide pembelajaran inovatif bila
menulispun enggan?
Memperbaiki keturunan
Meski
seorang guru sudah mendapatkan tunjangan profesi guru (TPG) juga belum tentu
mereka dikatakan sejahtera. Mengapa? Salah satu syarat mendapatkan TPG adalah
minimal berijazah strata 1 (S1). Sehingga untuk meraih TPG, banyak guru yang
‘terpaksa’ menempuh perkuliahan untuk mendapatkan ijazah kesarjanaan.
Karena
mereka berpendidikan sarjana, sudah barang tentu para guru tersebut
berkeinginan anak-anaknya menempuh pendidikan lebih tinggi dari mereka. Dengan
demikian uang dari TPG kemungkinan besar untuk biaya kuliah anak-anaknya, demi
memperbaiki keturunan agar lebih tinggi pendidikannya.
Merdeka dan sejahtera lahir batin
Pada
hakekatnya, semua guru tidak hanya berkeinginan merdeka dalam berpikir dan
dalam mengembangkan pembelajaran atau sejahtera secara ekonomi saja. Namun juga
menginginkan merdeka dan sejahtera lahir batin.
Mungkin
secara lahir banyak guru yang sudah merasa lebih tertolong ekonominya karena
mendapat TPG. Artinya secara lahir mereka sudah sejahtera. Namun apakah mereka
sudah sejahtera secara batin? Belum tentu!
TPG
masih dirasa sebagai alat untuk ‘memaksa’ atau ‘menuntut’ guru menjadi
profesional, menjadi lebih baik. Karena banyak yang berpikir demikian, artinya
mereka belum merdeka dan belum sejahtera secara batin. Karena mereka masih
merasa ‘terpaksa’ atau ‘takut’ tidak menerima TPG.
Belum
lagi guru masih dihantui ‘masalah hukum’ dalam menanamkan karakter di sekolah.
Guru dalam mendidik menjadi ragu-ragu, karena menjewer siswa bisa berakibat
dipenjara. Sehingga abai dengan hasil lulusan yang tak berkarakter atau liar,
yang penting kurikulum dan materi sudah tersampaikan ke siswa. Akhirnya hasil
pendidikan menjadi ‘hampa’, kurang berisi, dan kurang bermutu.
Dari
uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan pemerintah lewat Mendikbud
dalam memperbaiki pendidikan bangsa ini, seperti program merdeka belajar, semua
berpulang kepada guru. Guru harus merdeka dan sejahtera lahir batin. Karena
guru tidak hanya mengajar, namun mendidik karakter anak-anak bangsa, dan guru
tidak akan pernah bisa tergantikan mesin. (*)
Narwan Eska
Pemerhati Pendidikan
tinggal di Magelang